Kehendak Politik Ibukota

Seorang manajer Bank Syariah pernah berkata pada saya, “liat aja wan, PDI Perjuangan pasti nyalonin Ahok PILKADA ntar, kalo enggak, iris kuping gue. Pola yang dipake PDI itu sama kayak nyalonin Jokowi jadi presiden, injury time”. Ucapannya  terbukti benar. Iya dong benar.  Secara manajer saya yang ngomong.

Setelah nasibnya terombang-ambing dan sempat ketar-ketir kala nama ibu Risma muncul ke permukaan jagat politik ibukota, Ahok akhirnya mendapat kepastian dari partai berlambang banteng tersebut. dan yang seperti kita duga semua, PDI tak akan mampu berpaling dari Ahok yang telah mendongkrak suara mereka di pemilu 2014 lalu.

PDI pun kembali bergabung dengan sejawatnya di pemerintahan, Nasdem dan Hanura yang sedari awal sudah mengusung Ahok sebagai Balon gubernur. Dan tentu saja, Golkar yang telah kembali pada fitrahnya sebagai partai pemerintah pasca diambil alih Setya Novanto, yang sempat menjadi poros hinaan Teman Ahok seantero jagat.

Kabar dari Hambalang pun tidak kalah gempar, setelah calon yang diusung Gerindra, Sandiaga Uno mondar-mandir tak jelas juntrungannya, akhirnya ia menemukan pasangan yang dirasa seirama dengan gaya kepemimpinan pak Uno. Tentu bukan Yusril Ihza Mahendra, apalagi M Taufik, terlebih (lebih) (lebih) lagi Ahmad Dhani, koalisi kekeluargaan lebih condong pada sosok yang sempat dicampakkan Jokowi dan koleganya, Anies Baswedan.

Melambungnya nama Anies Baswedan pada detik-detik akhir nyatanya tak bertahan lama, ketika dalam sekejap mata muncul nama baru yang lebih fenomenal. Fenomenal bukan karena turun kasta dari menteri menjadi calon gubernur, tapi fenomenal karena ia tak kuat melawan nafsu sang ayah serta kolega politiknya.

Agus Harimurti Yudhoyono, anak mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, didapuk mewakili partai Demokrat (PKB, PPP, PAN) untuk ikut tempur menduduki balai kota bersama Sylfiana, seorang birokrat senior di DKI. Siapa yang menyangka jika SBY tega mengorbankan karir cemerlang putra sulungnya di militer. Bukan perkara mudah bagi Agus untuk memilih jalan politik, karena di waktu bersamaan ia harus terdepak dari kesatuan militer yang sudah menjadi bagian hidupnya.

“Mayor Infantri Agus Yudhoyono harus membuat  surat pengunduran diri sebagai anggota TNI, yang ditujukan ke komandannya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono. Surat tersebut sebagai syarat penting untuk mendaftarkan diri menjadi calon gubernur ke KPU DKI. Nantinya, surat tersebut akan dilampirkan pada dokumen pendaftaran,” kata Muradi, selaku Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran (sumber: CNN Indonesia).

Mendengar nama Agus dicalonkan menjadi calon gubernur Jakarta oleh partai ayahnya, hati saya berteriak, mengucap sumpah serapah pada partai pengusungnya (serta bapaknya). Demokrat tampaknya enggan belajar dari PDI Perjuangan yang kebablasan menjerumuskan Jokowi ke lubang setan kekuasaan.

Tentu kita belum tahu apakah Agus akan bernasib sama seperti Jokowi. Tapi jika kita lihat dari pengalaman politik bangsa ini, hal tersebut menjadi sebuah kemungkinan yang tak terelakkan, belum lagi jika Golkar mulai membelot (lagi) ke Cikeas untuk menjalani transaksi politik yang diperdagangkan.

Agus, seorang prajurit terbaik Indonesia harus rela mengubur mimpinya menjadi jenderal karena ketamakan partai sang bapak. Seperti kata Ikrar Nusa Bakti, “akan menjadi sebuah blunder jika Demokrat benar-benar mengusung namanya, sebagai prajurit yang bermasa depan cerah, penunjukkan Agus sebagai calon gubernur akan berdampak buruk pada banyak pihak, terutama keluarga SBY sendiri,”

Ini bukan hanya menjadi penyesalan SBY dan istri di kemudian hari karena gagal melihat sang anak menjadi Jenderal. Tapi akan membuat mendiang Sarwo Edhie, kakek Agus Yudhoyono tidak tenang di alam sana, karena almarhum bercita-cita memiliki cucu seorang Jenderal, seperti dirinya. Lanjut peneliti LIPI tersebut.

Dalam politik, kehendak adalah raja, sementara pelakunya hanyalah papa. Seperti Agus yang tidak bisa melawan kehendak politik sang ayah, sekalipun ia harus membuat sang kakek merana di keabadiannya, atau Anies Baswedan yang rela menjadi kaki tangan Prabowo, sosok yang dia hujat selama pemilihan presiden lalu, dan Ahok beserta 1 juta temannya itu lebih memilih jalur partai ketimbang independen.

Kehendak politik pada akhirnya dapat berakibat pada konflik dan kejahatan. Seperti yang kita rasakan pasca pemilu 2014 lalu yang masih menyimpan dendam antar para mujahid-mujahid Jokowi dan Prabowo. Yang rela mati membela orang yang dinabikannya. Saat yang satu menghina lewat agama dan yang lain menjatuhkan melalui kenangan masa silam.

Dalam pandangannya, Arthur Schopenhauer, menganggap bahwa, Kehendak, dalam hakikatnya bersifat jahat, dan satu-satunya cara mengatasi penderitaan dan kejahatan adalah mengingkari kehendak, menolak untuk ambil bagian dalam persaingan egoistis untuk mendominasi orang lain.

Buah pemikiran filsuf asal Jerman tersebut tampaknya benar-benar diamini oleh Tri Rismayani, walikota Surabaya, dan Ridwan Kamil, walikota Bandung yang enggan mengikuti kehendak partai pengusungnya. Sindiran-sindiran yang dilancarkan Ahok (yang sudah was-was) ketika mendengar nama kedua pemimpin daerah tersebut akan dicalonkan beberapa partai pun nyatanya tak mampu membuat mereka meninggalkan tanggung jawab di kotanya masing-masing.

Mengingkari kehendak bukanlah hal yang mustahil dalam berpolitik, karena politik terlalu elastis untuk diingkari. Dan dalam politik pula, kebenaran hanyalah subjektifitas. Seperti PAN, PKB, PDI Perjuangan, PPP, yang pada akhirnya pisah jalan sebelum Koalisi Kekeluargaan benar-benar mekar, atau Teman Ahok yang ikhlas mengelu-elukan Setya Novanto ketika partai beringin merapat ke pemerintahan.

Yang menggelikan dari Pilkada DKI kali ini adalah, semua berlomba membuat Jakarta bersih dari nama Ahok, asal bukan Ahok. Bukan demi Jakarta itu sendiri. Dan bagi yang anti Ahok, “mereka hanyalah kafir yang akan merusak bangsa”, sementara untuk Ahokers, “mereka semua adalah orang-orang sesat dalam agama dan pendukung ISIS”. Ya, mereka Saling menuding rasis, padahal sama saja.

Sumber gambar : Merahputih.com

2 komentar:

  1. Sempet kaget juga saat liat berita bahawa Agus resmi keluar dari seragam lorengnya buat ikut meramaikan pesta demokrasi Ibukota, kita tunggu saja siapa yang akan memimpin Jakarta beberapa waktu ke depan :) semoga Dia adalah pemimpin yang Jujur, Bijak serta Santun :)

    BalasHapus

Pages